Minggu, 08 Desember 2019

Gerakan KH. Mas Abdurrahman di Menes.



A. Pendahuluan
     Awal abad ke 20 merupakan titik tolak transformasi Islam di Indonesia. Berbagai perubahan dan pembaharuan baik sosial, ekonomi, budaya, politik hingga agama yang muncul secara masif seperti jamur di musim hujan. Inilah yang sering kali disebut puncak modernisasi Islam. Namun demikian, proses ini bukanlah datang begitu saja tetapi setelah melalui berbagai proses yang pastinya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya intensifnya hubungan Nusantara dengan Timur Tengah melalui peranan haji dan juga pelajar yang melakukan studi lanjutan , serta munculnya teknologi percetakan yang memungkinkan tersebarnya ide-ide baru dengan lebih cepat. Dalam kurun waktu tersebut, transmisi pengetahuan Islam dan juga transformasi masyarakat Islam di Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya hingga abad ke 19 dan 20 tidak lepas dari peran para pelajar yang pulang dari Hijaz. Melalui mereka, pemahaman ajaran Islam beserta teks-teks dan lembaga pendidikan Islam dalam bentuknya muncul dan berkembang di Nusantara.
Dalam suasana yang bergelora itulah K.H Mas Abdurrahman turut hadir di panggung sejarah Indonesia dengan menyumbangkan tenaga, pemikiran serta jiwanya. Ia dilahirkan di Kampung Janaka Desa Jiput, Kecamatan Labuhan Kabupaten Pandeglang (sekarang Masuk Propinsi Banten) pada tahun 1875 Pada tahun 1916 K.H. Mas Abdurahman memprakarsai berdirinya sebuah lembaga pendidikan Islam yang nantinya berkembang menjadi organisasi sosial keagamaan, yang diberi nama Mathla‟ul Anwar dengan dukungan Kiai Haji Sholeh Kenanga, Kiai Haji Entol Muhamad Yasin dan lain-lain.
Di bawah kepemimpinan K.H. Mas Abdurahman, Mathla‟ul Anwar dengan cepat berkembang menjadi lembaga pendidikan dan kemudian berubah menjadi organisasi, baik di Karesidenan Banten sendiri maupun di daerah sekitarnya, terutama Karesidenan Lampung. Madrasah-madrasah yang berdiri dan bergabung ke dalam Mathla‟ul Anwar diberi nama seragam yakni Madrasah Mathla‟ul Anwar, sebagai pusatnya adalah Madrasah Mathla‟ul Anwar Menes Banten, sedangkan cabang-cabangnya berada di kedua Karesidenan tersebut dengan jumlah puluhan bahkan ratusan lembaga.

B. Biografi serta perjalanan KH. Mas Abdurrahman
KH Mas Abdurrahman bin Jamal al-Janakawi lahir di kampung Janaka, Menes, kabupaten Pandeglang, Banten pada tahun 1875, dan meninggal pada 27 Sya’ban 1363 Hijriyah (bertepatan dengan 16 Agustus 1944). Janaka adalah nama kampung di kawasan gunung Haseupan, sekitar 15 km dari Menes ke arah utara. Sampai tahun 1970-an, untuk mencapai Janaka ditempuh dengan naik angkutan umum sepanjang 7 km, sementara sisa harus berjalan kaki. Tidak jelas kapan tepatnyanya terjaga, bahkan tahun 1875 saja nampaknya lebih dari sekedar informasi tanpa data yang jelas. Dalam catatan keluarga, dia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, yang kakak-kakaknya tidak bisa lagi namanya namanya, karena tidak tersedia data tentangnya. Orangtuanya, Mas Jamal, merupakan salah seorang tokoh agama yang disegani di Janaka.
Sebagai anak dari tokoh agama dan tokoh masyarakat yang disegani, Abdurrahman kecil berkembang dalam asuhan keluarga. Dari keluarga ini pulalah untuk pertama kalinya Abdurrahman kecil berkenalan dengan ilmu keislaman, mulai dari mengaji, belajar shalat, memahami rukun Islam dan rukun iman, serta berbagai masalah agama lainnya. Dengan penuh telaten Mas Jamal memberikan bimbingan kepada Abdurrahman, sampai anak memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai. Dalam catatan Nahid Abdurrahman, selain untuk kejujuran, KH Abdurrahman juga berguru kepada beberapa ulama, antara lain Kyai Shohib di sekitar Menes. Beliau juga sempat berguru kepada Kyai Ma’mun di Serang, seorang huffadz dan ahli dalam kajian dan bacaaan Al-Quran.
Sebagai anak desa, Abdurrahman kecil tentu tidak sekedar mengaji dan mempelajari ilmu agama. Dia juga rajin membantu orangtuanya bertani, di samping memiliki teman sepermainan sebagai bagian dari proses pembentukan karakter social dan keagamaannya di kelak kemudian hari. Dalam pandangan teman-teman sepermainannya, Abdurrahman kecil dikenal sebagai anak yang pandai, rajin, dan sopan. Potensi kepemimpinannya sudah nampak sejak sangat dini. Dalam pergaulannya sehari-hari Abdurrahman selalu berada di depan, dan menjadi pemimpin bagi kawan-kawan sepermainannya. Tidak jarang pula dia tampil menyelesaikan berbagai persoalan, dan diikuti oleh teman-temannya.
Selain berguru kepada orangtuanya, Mas Abdurrahman diduga juga belajar kepada kyai atau ustadz di sekitar Menes dan Pandeglang yang memang menjadi salah satu pusat perkembangan pondok pesantren di Banten. Sayangnya data tentang pengalaman pendidikan ini tidak tersedia, dan menjadi halaman gelap yang sulit ditelusuri. Karea itu, para penutur kisah hidupnya lebih sering mengambil jalan pintas dengan mengatakan bahwa Abdurrahman muda tidak berguru kemana pun selain kepada bapaknya, Mas Jamal.
Sebagai anak keturunan seorang yang berpengaruh dan kelas menak di Menes, bukan hal yang mustahil Abdurrahman juga mengenyam sekolah umum di Menes, karena sejak 1887 di kota ini telah berdiri sekolah Belanda, setelah ibukota keresidenan Caringin dipindah akibat gelombang tsunami yang meluluhlantakkan seluruh kawasan pantai di Banten sebagai efek dari letusan dahsyat gunung Krakatau pada 1883. Tetapi lagi-lagi catatan tentang ini tidak tersedia. Akibatnya, catatan pengalaman pendidikan Abdurrahman muda tidak tersedia dan menjadi halaman gelap dari sejarah sang tokoh.
Bahwa kemungkinan Abdurrahman muda berguru ke beberapa pondok pesantren dan atau menjadi murid sekolah Belanda di Menes didasarkan atas fakta berikut ini. Pertama, keberangkatannya ke Mekkah untuk mempelajari ilmu agama jelas membutuhkan dasar-dasar keilmuan yang memadai terlebih dahulu, dan itu tidak cukup dengan hanya belajar dari orangtua –terlebih Mas Jamal sendiri tidak tercatat memiliki pondok pesantren. Karena itu, mestinya Abdurrahman muda pernah pula mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan belajar kepada pada kyai dan ulama tradisional ketika itu. Sayangnya KH Abdurrahman sendiri tidak menuliskan sejarah dan pengalaman hidupnya. Keberngkatannya ke Mekkah sendiri memang tidak semata-mata untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama, tetapi yang paling utama adalah berziarah ke makan orangtuanya yang meninggal di Mekkah saat menjalankan haji. Tetapi usaha untuk lebih mendalam ilmu agama di sana akan sulit dilakukan jika ia tidak memiliki basis keilmuan yang memadai sebelumnya.

     Kedua, sebagai anak dari seorang menak di Menes sebagaimana nampak dari sebutan “Mas” di depan namanya, Abduurahman memiliki akses dan peluang yang terbuka untuk memasuki sekolah Belanda. Dan sebagai menak, tidak mustahil pula Mas Jamal menutup akses sepenuhnya kepada anaknya untuk memasuki sekolah kolonial itu. Tapi, biarlah hal ini menjadi pertanyaan abadi yang mungkin tak akan terjawab, karena memang data tentang itu belum ditemukan. Hanya saja, jaringan sosialnya yang luas di sekitar Menes yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan ulama serta pejabat pemerintah hampir mustahil diperoleh tanpa latar belakang pendidikan dan pengakuan keilmuan sama sekali.

    Secara umum masyarakat Banten jarang mendapat kesempatan belajar menuntut ilmu agama Islam semenjak para ulama meninggalkan kesultanan, tetapi tetap diuntungkan dengan kondisi masyarakat Banten yang telah memiliki jiwa keislaman, dibuktikan dengan tiap keluarga merasa berkewajiban mewariskan ilmu agama kepada generasinya, sekalipun masih berbaur dengan takhayul, bid’ah dan khurafat. Melihat keadaan pendidikan yang semakin tidak berpihak pada masyarakat pribumi, seakan memaksa para ulama untuk mencari solusi. Akhirnya, para ulama, kyai, guru ngaji dan masyarakat bermusyawarah di Kampung Kananga, dipimpin oleh K.H. Entol Mohammad Yasin dan K.H. Tb. Mohammad Sholeh, menghasilkan keputusan untuk meminta dan menyurati K.H. Mas Abdurahman yang sedang menuntut ilmu di Mekkah untuk kembali ke Banten. Setelah menimbang manfaatnya, K.H. Mas Abdurahman membatalkan kepercayaan dirinya yang diminta menjadi Badak, dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1910. Kehadiran kyai muda yang penuh semangat dianggap berhasil memperjuangkan masyarakat Banten dari kebodohan, dan berjuang mengadakan pembaharuan Islam bersama kyai-kyai di Banten saat itu. Selanjutnya, K.H. Mas Abdurahman dinikahkan dengan putri K.H. Tb. Mohammad Sholeh yakni Nyi. Enong.

C. Pergerakan KH. Mas Abdurrahman
Gerakan gerakan yang dibuat oleh KH. Mas Abdurrahman ternyata menimbulkan banyak perubahan pada pola kehidupan di Banten, terutama di Menes, Pandeglang sendiri. Perubahan tersebut, ialah :

1. Perubahan pada bidang pendidikan 
Berdirinya sebuah madrasah yang sampai saat ini tersebar di berbagai daerah, yaitu Madrasah Mathla’ul Anwar. Mathla’ul Anwar sendiri merupakan bukti sebagai salah satu gerakan perubahan yang dilakukan oleh KH. Mas Abdurrahman beserta Kyai yang lain untuk perubahan dalam bidang pendidikan, dimana para ulama pada saat itu melihat pendidikan di banten, terutama pendidikan dalam bidang agama sangat kurang sekali, walaupun pada saat itu masyarakat banten sudah sangat kental dalam bidang agamanya tetapi masih dirasa kurang dalam mengenyam bangku pendidikan agamanya. 
Sebagai Mudir atau direktur sebuah perguruan Islam dalam bentuk madrasah, dan Presiden Bistirnya K.H. E. Moh Yasin dari kampung Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di sekitar Menes. Memulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10 Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M. 
Selengkapnya para pendiri Mathla’ul Anwar adalah: Kyai Moh. Tb. Soleh; Kyai E.H. Moh Yasin; Kyai Tegal; Kyai H. Mas Abdurrahman; K.H. Abdul Mu’ti; K.H. Soleman Cibinglu; K.H. Daud; K.H. Rusydi, E. Danawi; dan, K.H. Mustagfiri
Adapun tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tabligh ke berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat pribumi hidup dalam kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
Sistem pendidikan Mathla’ul Anwar, merupakan pendidikan pesantren modern, yaitu yang mengolaborasi sistem pendidikan umum dan agama juga dibuka untuk mengimbangi dan memenuhi kebutuhan masyarakat saat itu. Model ini tetap dihidupsuburkan, bahkan dikorelasikan dengan sistem sekolah. Kegiatan belajarnya dilakukan waktu pagi, sore dan malam hari di rumah masing-masing, tetap menyelenggarakan pengajian dengan sistem pesantren dan menampung santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar di Madrasah Mathla’ul Anwar.

2. Perubahan yang dilakukan untuk masyarakat Banten.
Pembaharuan yang dilakukan K.H. Mas Abdurahman mempunyai dampak yang luar biasa. Dengan didirikannya madrasah oleh K.H. Mas Abdurahman tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan yang diajarkan oleh K.H. Mas Abdurahman itu membawa manfaat juga bagi pribumi, khususnya bagi ummat Islam. Sebelumnya telah dijelaskan pada bab di atas bahwa K.H. Mas Abdurahman dengan madrasahnya tidak hanya memberantas kebodohan, tetapi juga mengubah masyarakat dari jurang kegelapan menuju sebuah masyarakat yang sehat dan produktif, serta menjadi individu yang siap menjadi pemimpin dalam segala bidang. Selain itu, orang-orang pribumi bisa mengenal sistem pendidikan modern, misalnya sistem kelas, pemakaian papan tulis, meja dan bangku. Dari segi metode belajar-mengajar modern dan ilmu pengetahuan umum. Menciptakan orang-orang pribumi terpelajar yang cerdas, pintar, berwawasan luas, dan memiliki pola pikir yang rasional. Sisi-sisi positif madrasah itu telah melahirkan gagasan di kalangan ulama dan tokoh Islam di Banten. Di bidang keagamaan, perayaan maulid Nabi Muhamad SAW dirayakan dengan melantunkan dzikir dan shalawat, serta pujian kepada Nabi Muhamad sebagai bukti kecintaan terhadap nabi. Selain itu, masyarakat membuat tumpeng sebagai wujud syukur atas kelahiran orang yang dicintai. K.H. Mas Abdurahman pada awalnya hidup dengan rukun bersama masyarakat sekitar, namun dengan dengan hadirnya K.H. Mas Abdurahman dan pendirian madrasah mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat seperti adanya penolakan dari masyarakat karena tradisi yang sudah turun temurun dilakukan dilarang keras oleh K.H. Mas Abdurahman seperti tradisi upacara mipit, upacara walimah yang masih mempertahankan bid‟ah, khufarat dan takhayul.

3. Gerakan yang dilakukan KH. Mas Abdurrahman bagi kolonial
Sebelum mendirikan madrasah Mathla‟ul Anwar, K.H. Mas Abdurahman sudah menghadapi banyak tantangan yang tidak menyenangkan terutama dari pemerintah Belanda. Sebagaimana lazimnya pemerintah kolonial, maka setelah dilihatnya bahwa gerakan yang dipelopori K.H. Mas Abdurahman itu sangat berpengaruh bagi rakyat. Apalagi setelah meletusnya pemberontakan tahun 1926 banyak para kiai dan ulama yang terlibat, maka pemerintah kolonial mulai mengadakan pengawasan yang ketat termasuk juga mengawasi pengajian yang dipelopori oleh K.H. Mas Abdurahman. Pengajian terus diikuti oleh matamata sehingga pergerakan menjadi terbatas. Namun meski demikian aktivitasnya tetap berjalan lancar. Selain itu pula cara lain digunakan seperti memberikan jabatan sebagai penghulu oleh pemerintah kolonial, namun K.H. Mas Abdurahman menolaknya dengan halus. Bahkan pernah suatu ketika utusan pemerintah kolonial Belanda menemui beliau untuk mempengaruhi dan memberikan padangan agar beliau dengan kawan-kawannya tidak meneruskan pergerakannya, tetapi ia dan kawan-kawannya tetap pada pendiriannya serta tidak gentar menghadapi pengaruh pihak-pihak kolonial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar